Kamis, 21 Oktober 2010

PENEGAKAN HUKUM YANG MENJAMIN KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN (STUDI KASUS : KASUS MBAH MINAH)

Pendahuluan
Masalah penegakan hukum merupakan persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat di dalam mengatasi konflik. Walaupun setiap masyarakat memiliki corak dengan karakteristik yang berbeda-beda, tetapi masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam penegakan hukumnya demi mencapai tujuan yang sama yaitu terciptanya kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan masyarakatnya. Demi tercapainya ketertiban dan kedamaian hukum, maka hukum berfungsi memberikan jaminan kepada seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh orang lain. Ketika kepentingan tersebut maka akan timbul suatu konflik. Dalam Negara hukum, konflik baik secara individual maupun sosial harus diselesaikan melalui jalan hukum. Hukum harus bisa melindungi setiap kepentingan yang dilanggar, sehingga hukum berarti aturan main yang tidak hanya bersifat formal, tetapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai keadilan. Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is government social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku baik yang berguna atau mencegah perilaku buruk. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakan tanpa membeda-bedakan atau memberlakukan hukum tidak secara diskriminatif. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif kecuali oknum aparat atau penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyrakat.
Pasal 1 UUD 1945 jelas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga konsekuensi yang timbul menyebabkan Indonesia memiliki aturan-aturan tertulis yang digunakan untuk mengatur dan menciptakan ketertiban bagi masyarakatnya. Aturan-aturan yang dirumuskan kedalam bentuk peraturan dalam penegakannya diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dalam penegakan hukum (law enforcement). Fenomena tersebut dapat dilihat ketika dalam penegakan hukum, kepastian hukum lebih diutamakan daripada keadilan atau kemanfaatan hukum itu sendiri. Salah satu contoh kasus yang bisa ditelaah yaitu kasus Mbah Minah yang mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4.

Penegakan hukum berdasarkan nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhaltnis).
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Ketiga nilai hukum tersebut tidak dapat diterapkan secara seimbang oleh aparat penegak hukum ketika mereka menangani kasus Mbah Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Di dalam persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao tersebut untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang.
Kalau melihat kasus Minah, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak hukum mengutamakan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya tanpa memperhatikan rasa keadilan. Penegakan hukum yang diartikan oleh para aparat penegak hukum yang menangani kasus Minah adalah Penegakan hukum secara tekstual yaitu mengartikan perbuatan Minah sebagai pencurian. Padahal kalau mau dihitung, harga buah kakao tersebut lebih murah dibandingkan biaya perkara yang harus dikeluarkan untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, motif Minah adalah potret dari kemiskinan. Kalau ada yang mau dihukum, seharusnya Negara karena tidak dapat menjalankan fungsinya yaitu mensejahterakan rakyat.
Minah divonis hukuman percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Hakim sebagai pemutus perkara mencoba menegakan hukum secara tekstual dimana ketika seseorang melanggar hukum maka dia harus mendapatkan hukuman tanpa memperhatikan apa yang menjadi dasar si pelanggar hukum. Menurut van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Untuk itu, diperlukan hakim yang progresif dalam memutus suatu perkara yaitu dengan memperhatikan keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis.
Berdasarkan pendapat Radbruch, dapat dikatakan bahwa seorang hakim dapat mengabaikan hukum tertulis (statutarylaw/ state law) apabila hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan. Namun, wajah peradilan Indonesia berangkat dari kasus Minah hanya menitikberatkan pada aspek dogmatika atau statutory law bahkan seringkali hakim hanya bertugas untuk menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) yang berakibat pada penciptaan keadilan formal belaka bahkan seringkali menemui kebuntuan legalitas formal.
Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu, masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang dirasakan asil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Seperti halnya kasus Minah tersebut, untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat yang adil dan makmur”. Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut “hukum untuk manusia”.
Menurut Suteki, Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat (the living law) seperti yang telah diamanatkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman dengan alasan terkait dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan seringkali melenceng dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan hukum telah mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan legalitas formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan tidak menegakan hukum.
Kebijakan untuk tidak memberlakukan hukum dapat dilakukan dalam situasi sebagai berikut :
1.      Kalau hukum tidak akrab dengan realitas social, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of power).
2.      Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan hanya dapat menjadi bahan diskusi.
3.      Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila sebagai Kaidah Penuntun.
Menurut penulis, kebijakan tidak menegakan hukum seharusnya bias dilakukan oleh para aparat penegak hukum ketika menangani kasus minah demi terwujudnya keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal yang hanya mementingkan nilai kepastian hukum.

Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa krisis yang terjadi dalam penegakan hukum khususnya dalam terciptanya keadilan disebabkan paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum terutama yang berhubungan langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan dan prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan.
Aparatur penegak hukum khususnya hakim terpaku dengan paradigma rule making yang hanya menerapkan undang-undang semata. Kurang berani untuk menerapkan paradigma rule breaking yaitu penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut penegakan hukum progresif. Aparatur penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan penegakan hukum yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dimana keadilan tersebut bukan hanya keadilan formal tetapi keadilan substansial.


DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo.Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Gentapress, 2008.

Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010
 
Tanya.Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010

www.google.com


Marsinta Uly
Anggota LBH Perjuangan


Selasa, 19 Oktober 2010

TENTANG SP2HP

Secara Teoritis bahwa Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) adalah surat yang diberikan kepada pelapor / pengadu tentang perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan yang ditandatangani oleh atasan penyidik dengan melalui tahapan-tahapan:
  1. SP2HP pertama kali diberikan adalah pada saat setelah mengeluarkan surat perintah penyidikan dalam  waktu 3 (tiga) hari Laporan Polisi dibuat.
  2. SP2HP yang diberikan kepada pelapor berisi pernyataan bahwa laporan telah diterima, nama penyidik dan nomor telepon/HP.
  3. Waktu pemberian SP2HP pada tingkat penyidikan untuk kasus :
  • Kasus ringan, SP2HP diberikan pada hari ke-10, hari ke-20 dan hari ke-30
  • Kasus sedang, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45 dan hari ke-60.
  • Kasus sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75 dan hari ke 90.
  • Kasus sangat sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-20, hari ke-40, hari ke-60, hari ke-80, hari ke-100 dan hari ke-120.
  • Tahap penyelesaian dihitung pada saat penyerahan berkas perkara yang pertama.


Senin, 18 Oktober 2010

kliping digital tentang Kasus Pelindo III

Kejari Semarang Hentikan Penyidikan Kasus Pelindo
Senin, 04 Okt 2010 22:55:00 WIB | Oleh : Wisnu Adhi Nugroho
ANTARA - Kejaksaan Negeri Semarang menghentikan proses penyidikan yang telah memasuki tahap penuntutan dengan tersangka Manajer Umum PT Pelabuhan Indonesia III Tanjung Emas Semarang Bambang Subekti karena tidak memenuhi persyaratan.
"Berdasarkan hasil ekspose yang dilakukan Kejari Semarang maka proses penyidikan kasus ini dihentikan karena alat bukti dalam kasus ini dinilai tidak mencukupi," kata Kepala Kejati Jateng Salman Maryadi di Semarang, Senin.

Ia mengatakan, penghentian proses penyidikan kasus Pelindo sesuai dengan Pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut dia, kasus sengketa tanah seluas 2 hektare antara PT Pelindo dan PT Sinar Centra Cipta (SCC) dalam kasus yang proses penyidikannya dihentikan ini harus diselesaikan dulu agar status tanah yang disengketakan menjadi jelas.

"Kasus Pelindo ini tidak bisa dimasukkan dalam kategori pelanggaran Pasal 335 KUHP sebab tidak ada unsur kekerasan ataupun ancaman untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu," ujarnya.

Ia menjelaskan, Pasal 335 KUHP dikenakan pada perorangan bukan pada pejabat negara yang bertindak atas nama institusi dan kalaupun terbukti maka untuk pejabat negara dikenakan Pasal 421 KUHP dan Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Terkait dengan penghentian proses penyidikan kasus Pelindo ini, Kepala Kejari Semarang Ranu Mihardja yang mendampingi Kajati mengatakan pihaknya akan segera menyusun surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) kasus tersebut.

"Secepatnya kami akan menyusun SKPP dan memberikan pendapat hukum," ujarnya.

Sementara itu, Manajer Umum PT Pelindo Bambang Subekti yang dihubungi melalui telepon mengatakan bahwa keputusan Kejari Semarang dengan menghentikan proses penyidikan dinilai sudah tepat dan bijak.

"Tindakan yang saya lakukan hingga dilaporkan PT SCC itu semata-mata hanya untuk melindungi aset negara dari penyerobotan," katanya.

Selain Bambang Subekti, Manajer Properti PT Pelindo Frans Huwae juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Semarang dan dijerat dengan Pasal 335 KUHP karena melakukan penghentian kegiatan penggalian yang dilakukan PT SCC.

Kasus ini disidik oleh Kepolisian Resor Kota Besar Semarang berdasarkan laporan pihak PT SCC dengan nomor laporan LP:1012/K/XI/2009/Wiltabes pada 15 November 2009 dan pada 17 September 2010 Kejari Semarang menyatakan bahwa berkas perkara kedua tersangka telah lengkap (P-21)


kliping digital tentang Kasus Pelindo III

Dua Jaksa Kejari Semarang Dilaporkan ke Jamwas
Minggu, 03 Okt 2010 20:37:28 WIB | Oleh : Wisnu Adhi Nugroho
ANTARA - Dua jaksa dari Kejaksaan Negeri Semarang yakni Suratno dan M. Anggidigdo dilaporkan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung oleh seorang pengacara karena dinilai tidak profesional menjalankan tugas.

"Kedua jaksa tersebut saya laporkan melalui surat Nomor 087/LBH.Perj/02.IX.2010 dan berharap Jamwas mengambil tindakan hukum dan etika profesi terhadap mereka," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perjuangan Moegiono di Semarang, Minggu.

Ia mengatakan alasan dirinya melaporkan dua jaksa Kejari Semarang tersebut karena kecewa dengan perkataan jaksa Suratno yang menuduh tanpa ada bukti saat berada di kantor Kejari Semarang dan disaksikan oleh banyak orang.

"Saat mengurus perkara pidana yang melibatkan Manajer Umum PT Pelabuhan Indonesia III Tanjung Emas Semarang, Bambang Subekti, Suratno menyalahkan saya karena tidak profesional dalam suatu perkara yang tidak saya tangani sambil menuding muka saya dengan jari tangan," ujarnya.

Moegiono yang dimaki-maki dan dituding tanpa ada klarifikasi tersebut juga dianggap telah melayangkan surat ke beberapa pihak karena tidak sependapat dengan dakwaan jaksa M. Anggidigdo dalam perkara penganiayaan yang dilakukan tiga oknum polisi.

"Jaksa Suratno juga mengatakan kepada saya kalau rekannya yakni M. Anggidigdo sempat diperiksa tujuh orang dari Jamwas akibat dari tindakan yang tidak saya lakukan," katanya dan menambahkan bahw ia sudah meminta dipertemukan dengan M. Anggidigdo namun tidak dilakukan.

Menurut dia, tindakan yang dilakukan oleh terlapor tidak seperti orang memiliki budi pekerti sebagai penyelenggara abdi negara dan tidak menjalankan doktrin kejaksaan yaitu "Tri Krama Adhyaksa Satya Adhi Wicaksana".

Sementara itu, kedua jaksa yang dilaporkan oleh Moegiono hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi, sedangkan Kepala Kejari Semarang, Ranu Mihardja tidak bersedia berkomentar lebih lanjut.

http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=35669